Senin, 20 November 2017

Laporan Praktikum Agroklimatologi ( Curah Hujan) Daerah Jeneponto



Praktikum 1
Agroklimatologi
Curah Hujan

Nama             :Yohanis Sarma
NIM              :G11115536
Kelompok      :13
Asisten          :Yopie Brian Panggebean
PRODI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016




BAB I
PENDAHULUAN
1.1         Latar Belakang
Provinsi Sulawesi Selatan terletak di 0°12' - 8° Lintang Selatan dan 116°48' - 122°36' Bujur Timur. Luas wilayahnya 45.764,53 km² yang terbagi menjadi 21 kabupaten dan 3 kotamadya dan terdiri dari 304 kecamatan dan 2.953 desa/kelurahan, wilayah provinsi ini dilalui oleh 67 sungai, dan juga terdapat 7 gunung, serta 4 danau. Provinsi ini berbatasan dengan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat di utara, Teluk Bone dan Sulawesi Tenggara di timur, Selat Makassar di barat dan Laut Flores di selatan. Wilayah Sulawesi Selatan membentang mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi. Kondisi Kemiringan tanah 0 sampai 3 persen merupakan tanah yang relatif datar, 3 sampai 8 persen merupakan tanah relatif bergelombang, 8 sampai 45 persen merupakan tanah yang kemiringannya  curam, lebih 45 persen tanahnya curam  bergunung.
Kabupaten Jeneponto adalah salah satu Daerah Tingkat II di provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Bontosunggu. Kabupaten ini memiliki luas wilayah 749,79 km2 dan berpenduduk sebanyak 330.735 jiwa, kondisi tanah (topografi) pada bagian utara terdiri dari dataran tinggi dengan ketinggian 500 sampai dengan 1400 m, bagian tengah 100 sampai dengan 500 m dan pada bagian selatan 0 sampai dengan 150 m di atas permukaan laut. dan memiliki pelabuhan yang besar terletak di desa Bungeng (Yuhardin, 2006).
Hujan adalah sebuah presipitasi berwujud cairan, berbeda dengan presipitasi non-cair seperti salju, batu es dan slit. Hujan memerlukan keberadaan lapisan atmosfer tebal agar dapat menemui suhu di atas titik leleh es di dekat dan di atas permukaan Bumi. Di Bumi, hujan adalah proses kondensasi uap air di atmosfer menjadi butir air yang cukup berat untuk jatuh dan biasanya tiba di daratan.
Curah hujan merupakan jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar selama  periode tertentu yang diukur dengan satuan tinggi (mm) di atas permukaan horizontal  bila tidak terjadi evaporasi, runoff dan infiltrasi. ). Jadi, jumlah curah hujan yang diukur, sebenarnya adalah tebalnya atau tingginya permukaan air hujan yang menutupi suatu daerah luasan di permukaan bumi.
Schmidt dan Fergusson menggunakan dasar adanya bulan basah dan bulan kering seperti yang dikemukakan oleh Mohr. Perbedaan terdapat pada cara mencari bulan basah dan bulan kering. Hal ini juga merupakan alasan pembagian iklim tersendiri untuk Indonesia. Menurut Mohr bulan basah dan bulan kering.
Iklim adalah kondisi rata-rata cuaca berdasarkan waktu yang panjang untuk suatu lokasi di bumi atau planet lain. Studi tentang iklim dipelajari dalam klimatologi. Iklim di suatu tempat di bumi dipengaruhi oleh letak geografis dan topografi tempat tersebut. Pengaruh posisi relatif matahari terhadap suatu tempat di bumi menimbulkan musim, suatu penciri yang membedakan iklim satu dari yang lain. Perbedaan iklim menghasilkan beberapa sistem klasifikasi iklim.
Berdasarkan posisi relatif suatu tempat di bumi terhadap garis khatulistiwa dikenal kawasan-kawasan dengan kemiripan iklim secara umum akibat perbedaan dan pola perubahan suhu udara, yaitu kawasan tropika (23,5°LU-23,5°LS), subtropika (23,5°LU-40°LU dan 23°LS-40°LS), sedang (40°LU-66,5°LU dan 40°LS-66,5°LS), dan kutub (66,5°LU-90°LU dan 66,5°LS-90°LS).
2.1     Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari praktikum curah hujan dan spesifikasi iklim adalah untuk mengetahui keadaan iklim atau curah hujan suatu wilaya dan untuk mengetahui cara menghitung data dari hasil pengamatan curah hujan suatu wilayah.
Manfaat dari praktikum ini adalah sebagai informasi keadaan curah hujan pada suatu wilaya agar kita dapat menentukan waktu yang tepat dalam melakukan suatu kegiatan dalam hal becocok tanam.



BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1     Data Kabupaten
Kabupaten Jeneponto terletek di ujung bagian barat dari wilayah Propinsi Sulawesi selatan dan merupakan daerah pesisir pantai yang terbentang sepanjang ± 95 di bagian selatan. Secara geografis terletek diantara 50 16’ 13” – 50 39’ 35” Lintang Selatan dan 120 40’ 19” – 120 7’ 51” Bujur Timur. Kabupaten Jeneponto berbatasan dengan : Ditinjau dari batas-batasnya maka pada sebelah Utara berbatasan dengan Gowa, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Flores, sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Takalar dan sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bantaeng (Yuhardin, 2006).
Kabupaten Jeneponto memiliki wilayah seluas 74.979 ha atau 749,79 km2. Luas Wilayah Kabupaten Jeneponto tersebut bila dilihat dari jenis penggunaan tanahnya, maka penggunaan tanah yang terluas pertama tahun 1999 adalah Tegalan/Kebun seluas 35.488 ha atau 47,33%, terluas kedua adalah Sawah Panen Satu Kali seluas 12.418 ha atau 16,56%, terluas ketiga adalah Hutan Negara seluas 9.950 ha atau 13,27%, sedangkan penggunaan tanah untuk Pekarangan seluas 1.320 ha atau 1,76% dan yang terendah adalah Ladang atau Huma seluas 31 ha atau 0,04%  (Yuhardin, 2006).
2.2     Curah Hujan Kabupaten 5 Tahun Terakhir
Curah hujan di wilayah Kabupaten Jeneponto pada umumnya tidak merata, hal ini menimbulkan adanya wilayah daerah basah dan wilayah semi kering. Curah hujan di Kabupaten Jeneponto yang tertinggi biasanya jatuh pada Bulan Januari sedangkan curah hujan terendah atau terkering terjadi pada Bulan Juni, Agustus, September dan Oktober (Yuhardin, 2006).


2.3     Hujan Spesifik
Pola curah hujan spesifik dan berintensitas tinggi seperti di Indonesia membutuhkan pengembangan model prediksi curah hujan terintegrasi. Itu untuk meningkatkan akurasi perkiraan curah hujan lebat yang berpotensi banjir. Pemodelan itu mengacu kondisi interaksi dinamis laut dan atmosfer di Indonesia, yang sebagian besar wilayahnya lautan.pemodelan curah hujan sangat diperlukan, terutama di perkotaan terkait penataan ruang dan mitigasi banjir. Banjir mengancam banyak kota besar di Indonesia yang umumnya di wilayah pantai (Fadli, 2013)
2.4     Iklim spesifik
Klasifikasi iklim umumnya sangat spesifik yang didasarkan atas tujuan penggunaannya, misalnya untuk pertanian, penerbangan atau kelautan. Pengklasifikasian iklim yang spesifik tetap menggunakan data unsur iklim sebagai landasannya, tetapi hanya memilih data unsur-unsur iklim yang berhubungan dan secara langsung mempengaruhi aktivitas atau objek dalam bidang-bidang tersebut (Lakitan, 2002). Iklim selalu berubah menurut ruang dan waktu. Dalam skala waktu perubahan iklim akan membentuk pola atau siklus tertentu, baik harian, musiman, tahunan maupun siklus beberapa tahunan. Selain perubahan yang berpola siklus, aktivitas manusia menyebabkan pola iklim berubah secara berkelanjutan, baik dalam skala global maupun skala lokal  (Irianto, 2003).
2.5     Schmidt-Ferguson
Selama ini pemanfaatan data-data iklim lama masih sering digunakan karena kurangnya penelitian tentang iklim, khususnya skala lokal. Hal ini juga terjadi pada penentuan zona-zona iklim seperti zona iklim  klasifikasi Schmidt-Ferguson. Di Pulau Lombok Schmidt-Ferguson pernah menganalisa data curah hujan untuk menentukan tipe-tipe iklim yang di publikasikan pada tahun 1951 dan data-data itu masih digunakan sampai sekarang. Seiring dengan terjadinya perubahan iklim dan bertambahnya pos penakar curah hujan kemungkinan terjadinya perubahan tipe-tipe iklim klasifikasi Schmidt-Ferguson sangat besar, sedangkan data-data ini masih digunakan sebagai dasar penelitian, perencanaan dan pengambil keputusan pada masa sekarang yang apabila dihubungkan dengan waktu penelitian dan perubahan iklim maka data-data tersebut sudah tidak begitu valid(Irianto, 2003).
2.6     Oldeman
Klasifikasi iklim yang tepat digunakan untuk pertanian adalah klasifikasi iklim menurut Oldeman. Klasifikasi iklim Oldeman memakai unsur curah hujan sebagai dasar penentuan klasifikasi iklimnya.Tipe utama klasifikasi Oldeman didasarkan pada jumlah bulan basah berturut-turut, yaitu: zona A, zona B, zona C, zona D, dan zona E. Sedangkan subtipenya didasarkan pada jumlah bulan kering berturut-turut yaitu: zona 1, zona 2, zona 3, dan zona 4. Perubahan iklim akan mempengaruhi hasil-hasil penelitian yang selama ini menggunakan iklim sebagai bahan penyusun utama dari penelitian tersebut, seperti misalnyapeta iklim yang dibuat oleh Oldeman (Lakitan, 2002).




BAB III
METODOLOGI
3.1  Waktu danTempat
Praktikum ini dilakukan di Laboratorium Agroklimatologi dan Statistika, Fakultas Pertanian, Universitas Hasanuddin, Pada hari Senin, 21 Maret 2016, pukul 08.00 sampai selesei.
3.2  Cara Pengukuran
Pengukuran curah hujan dilakukan dilakukan setiap jam 07.00 pagi atau setiap jam 06.00 sore. Adapun pengukuran dilakukan sebagai berikut:
1.        Memegang gelas ukur tegak lurus dibawah kran.
2.        Membuka kran air.
3.        Apabilah jumlah air pada gelas ukur men unjukkan kurang dari 0,5 maka ditulis 0 dan jika jumlah curah hujan menunjukkan diatas 0,5 ditulis 1.




BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Tabel 1. Data curah hujan 15 tahun terakhir.
Sumber : Data yang telah diolah, 2016

Tabel 2. Data curah hujan setelah diboboti.
Sumber : Data yang telah diolah, 2016

3. Data setelah rangking.
Sumber : Data yang telah diolah, 2016

Tabel 4. Scmidt-Perguson
Sumber : Data yang telah diolah, 2016

Tabel 5. Oldemen
Sumber : Data yang telah diolah, 2016

Grafik 1. Grafik curah hujan 40%
Sumber : Data yang telah diolah, 2016



Grafik 2. Grafik curah hujan 50%
Sumber : Data yang telah diolah, 2016

Grafik 3. Grafik curah hujan 60%
Sumber : Data yang telah diolah, 2016

Grafik 4. Grafik curah hujan 40%, 50% dan 60%
Sumber : Data yang telah diolah, 2016
4.2 Pembahasan
Pada pengamatan data curah hujan yang diperoleh yaitu data hujan yang diolah dan diamati adalah data hujan dari Kabupaten Jeneponto selama 15 tahun, terhitung dari tahun 1999 – 2014  .pengamatan curah hujan harian dan curah hujan kumulatif, Hujan harian adalah Curah hujan yang diukur berdasarkan jangka waktu satu hari (24 jam). Hujan kumulatif merupakan jumlah kumpulan hujan dalam suatu periode tertentu seperti mingguan, 10 harian, dan bulanan, serta tahunan.
Dari data diatas dapat kita lihat bahwah curah hujan cukup tinggi rata-rata milai bulan desember dan januari. Data curah hujan paling rendah mulai dari bukan Juli hinga bukan November. Dari data tersebut kita dapat memperkirakan jadwal penanaman dan jadwal panen yang tepat, sehingga gagal panen dapat dicegah dan produksi bisah lebih banyak dari sebelumnya.
Pada data peluang perkiraan curah hujan tahun sebelumnya 40%, 50% dan 60%, dapat kita lihat bahwa curah hujan dengan peluang 40%  paling tinggi pada bulan Desember dan Januari. Curah hujan paling rendah pada bulan Agustus sampai Oktober. Kemudian pada peluang 50% curah hujan paling tinggi pada bulan Januari, Juni dan Desember. Curah hujan paling renda pada bulan  Juli hingga pada bulan November. Sedangkan pada peluang 60% curah hujan tinggi terjadi pada bulan Januari, Mei dan Desember. Kemudian curah hujan rendah pada bulan Juni hingga November.
Dari data peluang terjadinya hujan tahun berikutnya 40%, 50% dan 60%. dapat kita lihat bahwa rata-rata curah hujan tinggi terjadi pada bulan Januari dan bulan desember. Sedangkan curah hujan rendah mulai pada bulan Juni hingga November.


BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
1.        Dari data tersebut dapat kita simpulkan bahwa bahwa curah hujan di Kabupaten Jeneponto termasuk rendah karena curah hujan tinggi hannya terjadi selama 2 bulan. Prediksi peluang terjadinya hujan pada tahun berikutnya  masih hampir sama dengan tahun sebelumnya.
2.        Perhitungan yang dilakukan adalah menghitung jumlah curah hujan dan menghitung keadaan iklim suatu wilaya yaitu Scmith dan Oldemen. Kemudian menghitung prediksi peluang curah hujan di tahun berikutnya dengan presentase peluang 40%, 50% dan 60%.
5.2 Saran
Dalam melakukan perhitungan, prmbobotan dan pemberian rengking harus dilakukan secara hati-hati agar data yang kita paparkan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dan prediksisi curah hujan tahun berikutnya bisah tepat.









DAFTAR PUSTAKA
Fadli. 2013. Indonesia Butuh Model Prediksi Hujan Terpaduhttps://infohujan.wordpress.com diakses pada tanggal 3 April 2016.
Irianto, Gatot. 2003. Implikasi Penyimpangan Iklim Terhadap Tataguna Lahan. Makalah Seminar Nasional Ilmu Tanah. KMIT Jurusan Tanah Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.
Lakitan, Benyamin. 2002. Dasar-Dasar Klimatologi. Cetakan Ke-dua. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Yuhardin. 2006. Profil Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan. Scriptintermedia. Makassar.http://yuhardin.scriptintermedia.com/view.php?id=4910&jenis=Umumdiakses pada tanggal 3 April 2016.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar